FENOMENA
SENI RUPA ANAK-ANAK
Pablo Picasso,“SETIAP anak-anak adalah seorang seniman. Masalahnya adalah
bagaimana membuatnya tetap sebagai seniman ketika dia tumbuh besar.”
Pernyataan yang dikatakan oleh Pablo Picasso
mungkin benar,karna seorang anak dalam meluapkan ekspresinya pada suatu
media,ia tidak memikirkan untuk apa
karyanya nanti,atau kepentingan lain yang bersifat matrealistis,anak-anak
berekspresi hanya untuk kepuasan pribadi saja,dan perilaku yang seperti itu
sama dengan definisi seorang seniman yang berkarya hanya untuk mengekspresikan
imajinasinya pada suatu media untuk kepuasan pribadi.
Dalam kegiatan seni terutamanya menggambar akan bebas
berekperimen dengan gambar mereka ada bebrapa tahap perkembangan gambar anak
menurut bebrapa ahli diantaranya seperti bagan berikut.
GAMBARAN PERKEMBANGAN KEGIATAN MENGGAMBAR
PADA ANAK-ANAK
Sir
Cyril Burt
|
Viktor
Lowenfeld And
W.
Lambert Brittain
|
Amir
Hamzah Nasution
Dan
Oejeng Soewargana
|
Masa
Corengan
(usia
2 - 5 tahun)
|
Masa
Corengan
(usia
2 - 4 tahun)
|
Periode
Menggores
(sampai
usia 3 tahun)
|
Masa
Garis
(usia
4 tahun)
|
Masa
Prabagan
(usia
4 - 7 tahun)
|
Periode
Skema
(usia
3 - 7 tahun)
|
Masa
Perlambangan Terurai
(usia
5 - 6 tahun)
|
||
Masa
Realisme Terurai
(usia
7 - 8 tahun)
|
Masa
Bagan
(usia
7 - 9 tahun)
|
Periode
Bentuk dan Garis
(usia
7 - 9 tahun)
|
Masa
Realisme Cerapan
(usia
9 - 10 tahun)
|
Masa
Realisme
(usia
9 - 12 tahun)
|
Periode
Silhuet
(usia
9 - 10 tahun)
|
Masa
Represif (usia 11 - 14 tahun, terutama usia 13 tahun)
|
Masa
Naturalisme Semu
(usia
12 - 14 tahun)
|
Periode
Perspektif
(usia
10 - 14 tahun)
|
Masa
Kebangkitan Rasa Artistik
(usia
15 tahun)
|
Masa
Kepastian
(usia
14 - 17 tahun)
|
Dari
beberapa pendapatan ahli itu tidak semua akan menjadi realita yang pasti di
lapangan, hal ini karena setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Setiap individu anak memiliki keunikan tersendiri yang dapat mematahkan prinsip
dari teori perkembangan gambar menurut beberapa ahli di atas. Anak-anak di
Indonesia contohnya terdapat fenomena gambar “GUNUNG KEMBAR”. Seperti
gambar berikut.
Di Indonesia sejak tahun 40-an, masyarakat sekolah telah mengenal gambar dengan format: gunung, jalan, laut atau sawah, dan pepohonan. Format gambar penuh keseimbangan komposisi atas-bawah tersebut sangat awet, sebagai sesuatu yang ‘klasik”, yang secara sinambung diturun-tirukan antargenerasi hingga masa kini. Terdapat gambar sepasang gunung-kembar, kadang-kadang diisi tiruan bentuk matahari yang “memancarkan cahayanya” menyembul di sela-sela gunung. Pada bagian langitnya, biasa, diisi gambar tiruan burung yang sedang terbang (Nyoman Tusan memprihatinkannya sebagai contoh pemiskinan bentuk yang diajarkan kepada anak-anak). Objek gambar tersebut memenuhi setengah bagian atas bidang gambar. Pada setengah bagian bidang gambar bawah digambarkan seruas jalan panjang yang lurus atau pun berkelok-kelok menuju satu titik hilang (biasanya pola gambar ini dipakai pula oleh guru ketika mengajarkan materi gambar perspektif di sisi kiri dan kanan jalan biasanya diisi jejeran pohon atau tiang listrik yang menampakkan kesan jarak, dimensi, jauh-dekat. Penyeimbang ruang kiri dan kanan bidang gambar bawah yang telah dibatasi gambar jalan, biasanya diisi tiruan bentuk sawah datar penuh padi yang baru ditanam (bentuknya berupa garis simpel, yang “mudah menggambarkannya”, terdiri atas tiga garis yang bertemu pada satu titik seperti bentuk mata panah yang mengarah ke bawah), atau tegalan luas sejauh mata memandang yang kadang diseling rumah dan pohon kelapa, bisa juga gambar laut atau danau dengan satu atau dua buah sampan dan pemancing ikan di atasnya.
Fenomena ini sangat layak dan menarik untuk
dibicarakan, fenomena gunung kembar ini akan muncul baik ditingkat SD,
SMP, dan SMA. Fenomenan ini munculnyapun kurang diketahui dari asalnya
datangnya fenomena ini sehingga fenomenan ini telah menjamur di jenjang
pendidikan khususnya pendidikan seni rupa khususnya menggambar.
Sesuatu
yang dapat dikatakan jelas memicu munculnya fenomena ini adalah ketika mereka
lepas dari lingkungan keluarga yaitu ketika mereka mulai memasuki dunia atau
jenjang pendidikan. Hal ini dikarenanakan saat mereka masih di lingkungan
keluarga, mereka memiliki imajinasi yang besar tentang berbagai hal, namun
ketika memasuki masa pendidikan imajinasi mereka tiba-tiba hilang lenyap tak
terlihat sama sekali, kemanakan imajinasi mereka??. Fenomena Gunung Kembar ini
akan berlanjut sampai mereka menginjak SMA namun dengan tingkat yang
berbeda penggambaran yang berbeda. Anehnya lagi gambar ini muncul juga pada
mereka yang tidak tinggal di daerah pegunungan contonya saja daerah pantai.
Dilingkungan mereka tidak terdapat gunung ataupun pegunang namun kenapa gambar
ini bias muncul pada mereaka, siapa yang membawa fenomena ini??.Mungkinkah
fenomena ini muncul dari kegiatan meniru.
FENOMENA
GUNUNG KEMBAR
Anak merupakan masa dimana imajinasi dibebaskan pada anak. Meraka akan mulai melakukan sesuatu dengan menggunakan tangannya. Pada permulaan kelahiran, indera pendengaran merupakan indera yang berfungsi paling awal. Setelah itu, secara berturut-turut indera penglihatan, peraba, pengecap, dan pembau. Kematangan merupakan salah satu yang menjadi pendorong kemampuan seorang manusia. Ketika tangan sudah berfungsi untuk memegang sesuatu, anak balita mulai memfungsikan alat tubuh tersebut. Biasanya dimulai dengan memasukkan semua benda yang bisa diarihnya ke dalam mulut. Selanjutnya mengetuk-ketukkan semua benda yang bisa dipegang untuk didengar suaranya. Sebagai latihan terakhir adalah latihan koordinasi antara penglihatan dengan gerak otot lengan dan tangannya, melalui kegiatan mencorat-coret (Jajang, 1992: 2).
MELUKIS
SEBAGAI MEDIA TERAPI
Terapi seni secara harafiah dapat diartikan sebagai penggabungan dua buah disiplin ilmu, yaitu antara ilmu seni dan psikologi. Psikologi Seni menelaah suatu kegiatan psiko-fisis tertentu dari manusia dan pelaksanaan kegiatan itu pada penciptaan karya seni. Misalnya menelaah segenap proses kegiatan mencipta yang dilakukan oleh seniman untuk menghasilkan sesuatu karya seni yang indah serta bentuk dan ciri-ciri karya yang demikian. Juga ditelaah faktor-faktor sosial psikologis yang menyangkut proses penilaian seni dan dorongan batin dalam seni. Seni dapat memberikan berbagai penafsiran yang nyata terhadap macam-macam gejala kejiwaan dalam diri manusia seperti misalnya gairah, harapannya, khayalannya, atau kekurangan pribadinya. Psikologi seni mengacu pada seni pada seumumnya. Dalam lingkungannya kemudian berkembang psikologi dari jenis-jenis seni tertentu seperti misalnya psikologi kesusasteraan, psikologi musik, dan psikologi seni penglihatan yang meliputi seni lukis dan seni pahat.
Yohanita T.P.L, S.Psi pelaku konseling bagi anak berkebutuhan khusus saat dihubungi mengatakan, psikologi seni selain dapat dirinci menurut jenis-jenis seni dapat pula dibedakan menurut teori-teori psikologis yang digunakan untuk menerangkan sesuatu persoalan yang muncul. “Misalnya dengan menerapkan teori sikap dan psikologi instropeksi, Edward Bullough melakukan penyelidikan terhadap kesadaran estetis. Psikoanalisis dengan berbagai teorinya berusaha memberikan penjelasan bahwa karya seni sebagaimana halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan dari keinginan manusia terdalam yang memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk seni ketimbang dalam penghidupan sehari-hari,” jelasnya.
Dalam perkembangan psikologi seni selanjutnya, penggunaan hasil-hasil ilmiah dari psikologi kanak-kanak dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai mengenai pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni.
Sebuah teori tentang sumber seni ialah teori permainan yang dikemukakan oleh Penyair Johan Schiller (1759-1805) dan kemudian diperkuat oleh filsuf Inggris Herbert Spencer (1820-1903). Menurut Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main yang ada dalam diri seseorang.
Seni
merupakan semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia
berhubungan dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan ke luar.
Bagi Spencer permainan itu berperanan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan selanjutnya menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga ini lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan hiburan yang akhirnya menghasilkan karya seni. “Ada lukisan yang menggambarkan kesedihan, keputus-asaan, kesepian, kemarahan, semangat hidup, ambisi hingga bagaimana manusia meraih impian-impian hidupnya. Semua terbingkai dengan sempurna dalam sebuah lukisan. Lebih tepatnya membingkai jiwa-jiwa manusia dalam sebuah lukisan,” ujar Yohanita yang juga sering menghasilkan karya rupa.
Bagi Spencer permainan itu berperanan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan selanjutnya menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga ini lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan hiburan yang akhirnya menghasilkan karya seni. “Ada lukisan yang menggambarkan kesedihan, keputus-asaan, kesepian, kemarahan, semangat hidup, ambisi hingga bagaimana manusia meraih impian-impian hidupnya. Semua terbingkai dengan sempurna dalam sebuah lukisan. Lebih tepatnya membingkai jiwa-jiwa manusia dalam sebuah lukisan,” ujar Yohanita yang juga sering menghasilkan karya rupa.
Tak
heran seringkali psikolog dan psikiater merekomendasikan klien yang mengalami
kasus stres, depresi, paranoid, skizofrenia dan gangguan kejiwaan yang lain ke
terapi lukis. Melukis sebagai media terapi. Sebenarnya tidak hanya lukis saja
yang bisa sebagai media terapi. Ada banyak seni yang bisa mereka pergunakan
sebagai media, seperti : seni patung, seni batik, seni musik (piano, biola,
gitar), seni menulis, dll. “Didalam terapi melukis mereka akan belajar menarik
garis, bentuk, warna, komposisi ruang, dll. Terapi melukis akan mampu menggali
tingkat intelegensi, tingkat emosional, tingkat konsentrasi, dan kemampuan
berpikir mereka. Sehingga mereka akan diajak menyadari masalah-masalah mereka
sambil bereksplorasi dan berkreativitas dalam permainan kuas dan cat.
Harapannya, mereka nanti akan menemukan semangat baru, inspirasi baru, impian-impian
baru, akan menemukan solusi yang tepat pada masalah dirinya dan mampu memulai
lembaran baru yang lebih baik. Dan mereka pun bisa terbebas dari gangguan
kejiwaannya,” tutur Yohanita yang sering menangani anak-anak autis.
Sumber
http://pixabay.com/p-369236/?no_redirect
http://dvata.org/wp-content/themes/dvata/images/home/painting.jpg
http://sanggarkubobbo.blogspot.com/2015/01/mendobrak-seni-rupa-anak-anak.html
http://ymilocoffe.blogspot.com/2013/01/melukis-sebagai-media-terapi.html
http://putotheta.blogspot.com/2014/03/fenomena-gunung-kembar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar