Halaman

Minggu, 18 Desember 2016

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK TUGAS 8


Perkembangan Seni Rupa Anak – Anak

1.      Perkembangan Seni Rupa Anak

Anak usia dini adalah anak – anak yang berada pada rentan usia 0 – 6 tahun ( Undang – Undang Sisdiknas tahun 2003 ) dan 0 – 8 tahun menurut pakar pendidikan anak. Anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhandan perkembangan yang bersifat unik. Mereka memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya ( Mansur , 2005 : 88 ).
Anak – anak mengungkapkan perasaan melalui gambar, belum terlalu rinci hanya sebagian yang menarik perhatian. Berikut ini periodisasi perkembangan seni rupa anak – anak menurut Viktor Lowenfeld atau W. Lambert Brittain.
Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak – anak usia 2 – 17 tahun menghasilkan periodisasi sebagai berikut :
 

1.      Awal dari ekspresi diri : tahap Mencorat – coret 2 – 4 tahun.
Seni berkontribusi sangat besar dalam perkembangan anak, untuk itu dalam interaksai antara anak dan lingkungannya harus dilakukan secara langsung. Meskipun kadang kita berpikir seni dimulai dari seorang anak yang menggambar sesuatu di atas kertas, sebenarnya semua itu dimulai jauh di awal yaitu ketika indra pertama seorang anak dihubungkan dengan lingkungan dan anak mulai bereaksi terhadap pengalaman – pengalaman sensoriknya.
Meskipun ekspresi vocal yang pertama kali dilakukan oleh anak – anak, namun catatan permanen biasanya diambil dari coretan di usia delapan belas bulan atau lebih. Tapi sangat disayangkan bahwa “coretan” seorang anak memiliki konotasi negative bagi orang dewasa.
Perkembangan tahap Mencorat – coret anak  adalah sebagai berikut :
-          Mencorat – Coret yang berantakan.
-          Mencorat – Coret yang terkendali
-          Penamaan Corat – Coret



2.      Upaya representasional pertama : Tahap prabagan , 4 – 7 tahun
Tahap tanda dan coretan perlahan – lahan menghilang, pada tahap ini lebih banyak hubungan dengan gerakan tubuh dan ditandai oleh objek visual. Biasanya pada usia 4 tahun, anak – anak membuat bentuk yang dikenali, walaupun tidak mirip dengan bentuk sebenarnya. Pada usia 5 tahun bisa dibedakan gambarnya yaitu biasanya menggambar orang, rumah, atau pohon dan anak saat usia 6 tahun bentuk – bentuk gambar telah berkembang menjadi gambar yang lebih jelas untuk dikenali.
-          Karakteristik Gambar Prabagan
Tahap ini gambar anak – anak lebih berkembang dari garis kearah yang lebih pasti. Garis melingkar dan garis membujur berubah menjadi bentuk yang lebih pasti dan dapat dikenali, dan upaya representasi telah tumbuh langsung dari tahap menulis. Pandangan lain tentang tahap ini yaitu upaya representasi pertama dari stimulasi visual maupun dari konsep, namun sesungguhnya semua itu berasal dari apa yang anak rasakan. Selama tahap perkembangan anak terus mencari konsep – konsep yang baru, dan symbol representasinya juga terus berubah. Tetapi pada saat usia tujuh tahun, anak telah menetapkan skema. Gambar anak – anak di kelas pertama biasanya dapat diketahui dari pola atau objek yang diambil dengan cara yang sama lagi dan lagi.

Arti Warna
Pada tahap pertama, lebih banyak minat dan kegembiraan yang dirangsang melalui gambar ke objek dan antara warna dan objek. Dalam tahap ini anak – anak sering menggunakan warna untuk mencocokkn objek, namun setelah anak – anak mulai menggunakan garis untuk menggambar bentuk gambar mereka, mereka mulai mencocokkan objek bukan lagi karena warna. Pada tahap ini gambar sering ada sedikit hubungan antara warna yang dipilih dan objek yang mewakili. Namun bukan berarti warna tidak memiliki arti bagi anak – anak. Ditemukan beberapa anak usia empat tahun, warna kuning dipih untuk menggambarkan kebahagiaan dan warna coklat menggambarkan kesedihan, dengan objek gambar yang sama. Anak – anak memiliki psikologi lebih dalam pemilihan warna, tetapi makana ini cenderung sulit ditafsirkan oleh orang dewasa.

Arti Ruang
Representasi ruang dalam gambar berbeda secara luas, tidak hanya tergantung pada individu tetapi juga budaya di lingkungannya.
Gambar anak pada tahap reprenstasi pertama menunjukkan konsep yang berbeda dengan orang dewasa. Pada pandangannya ruang cenderung dalam urutan acak, namun ketika dilihat lebih dalam ruang tergambar tentang apa yang ada disekelilingnya. Konsep tata ruang dalam tahap ini, mengandung sesuatu yang berkaitan dengan dirinya dan tubuhnya sendiri. Kadang – kadang disebut ruang tubuh. Dan perubahan ruang dalam gambar kadang – kadang disebut dengan objek.
Mengajarkan konsep orang dewasa kepada anak – anak pada tahap ini bukan hanya akan membingungka tetapi akan merusak rasa percaya diri dan kreatifitas anak.



 3.      pencapaian konsep bentuk: tahap skema/ masa bagan 7 – 9 tahun
Meskipun semua gambar disebut skema, atau symbol, benda nyata , dalam tahap ini skema sebagai konsep, dimana seorang anak mengulangi lagi dan lagi setiap kali ada pengalaman yang tak disengaja dan mempengaruhi perubahan konsep. Dalam tahap ini anak – anak menggambar sosok manusia dalam berbagai cara, dan berubah dari hari ke hari berikutnya. Pada usia tujuh tahun gambar sesosok manusia lebih dikenali dan memerankan bagian tubuh tergantung pada pengetahuan mereka.



  4.      realisme fajar: usia geng/ masa realism awal 9 – 12 tahun
Pada usia ini sudah menunjukkan perkembangan kemandirian social dari dominasi orang dewasa, pembelajaran strutrus social secara pribadi. Pada usia ini adalah waktunya untuk berkelompok dari pada individu.
Penguasaan konsep ruang mulai dikenali, sehingga letak objek tidak bertumpu pada garis dasar. Selain warna dan ruang, dalam tahap ini juga mulai mengenal irama dan keseimbangan.



 5.      Usia penalaran : masa naturalisme semu 12 – 14 tahun
   Kemampuan berpikir dan kesadaran social semakin berkembang pesat. Pengamatan objek lebih rinci. Memperlihatkan rasa ruang dan lingkungan, dan focus menurut sesuatu yang menarik baginya. Ekspresi kreatif dan perkembangan intelektualnya semakin meningkat.





 



6.      Tahap penentuan : usia 14 – 17 tahun
Pada tahap ini kesadaran tentang bakat semakin berkembang. Anak yang berbakat dan menyukai seni akan terus melanjutkan dan mengembangkan kreatifitasnya melalui bimbingan guru ataupu orang tuanya, berbeda dengan anak yang tidak menyukai seni, maka ia akan mencari kegiatan lain yang disukainya.
 




 Perkembangan Seni Rupa Anak menurut Sir Cyril Burt adalah sebagai berikut :
1.      Masa Corengan 2 – 5 tahun, meliputi goresan yang tak teratur ( 2 tahun), goresan teratur (3 tahun), goresan berdasarkan intuisi anak (4 tahun), goresan yang terlokalisir ( 5 tahun).
2.      Masa Simbilisme diskriptif ( 6 tahun), seorang anak menamai gambarnya meskipun tidak mirip dengan bentuk aslinya.
3.      Masa realism deskriptif (7 – 8 tahun), pada usia ini anak merasakan adana kenyataan dari apa yang dilihat, tetapi belum diungkapkan dengan benar.
4.      Masa visual realisme (9- 10 tahun), dimana anak mampu menggambar bentuk dan warna objek cenderung mirip aslinya.
5.      Masa perwujudan (11 – 14 tahun), gambar yang dibuat jauh lebih mirip dengan objek asli, meskipun dengan proporsi yang tidak tepat.
6.      Masa revival (15 – 17 tahun), pengungkapan dimensi ruang dan kedalaman menjadi serius.


GAMBARAN PERKEMBANGAN KEGIATAN MENGGAMBAR
PADA ANAK-ANAK

Sir Cyril Burt
Viktor Lowenfeld And
W. Lambert Brittain
Amir Hamzah Nasution
Dan Oejeng Soewargana
Masa Corengan
(usia 2 - 5 tahun)
Masa Corengan
(usia 2 - 4 tahun)
Periode Menggores
(sampai usia 3 tahun)
Masa Garis
(usia 4 tahun)
Masa Prabagan
(usia 4 - 7 tahun)
Periode Skema
(usia 3 - 7 tahun)
Masa Perlambangan Terurai
(usia 5 - 6 tahun)


Masa Realisme Terurai
(usia 7 - 8 tahun)
Masa Bagan
(usia 7 - 9 tahun)
Periode Bentuk dan Garis
(usia 7 - 9 tahun)
Masa Realisme Cerapan
(usia 9 - 10 tahun)
Masa Realisme
(usia 9 - 12 tahun)
Periode Silhuet
(usia 9 - 10 tahun)
Masa Represif (usia 11 - 14 tahun, terutama usia 13 tahun)
Masa Naturalisme Semu
(usia 12 - 14 tahun)
Periode Perspektif
(usia 10 - 14 tahun)
Masa Kebangkitan Rasa Artistik
(usia 15 tahun)
Masa Kepastian
(usia 14 - 17 tahun)

Dari beberapa pendapatan ahli itu tidak semua akan menjadi realita yang pasti di lapangan, hal ini karena setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Setiap individu anak memiliki keunikan tersendiri yang dapat mematahkan prinsip dari teori perkembangan gambar menurut beberapa ahli di atas. Anak-anak di Indonesia contohnya terdapat fenomena  gambar “GUNUNG KEMBAR”. Seperti gambar berikut.

Di Indonesia sejak tahun  40-an, masyarakat sekolah telah mengenal gambar dengan format: gunung, jalan, laut atau sawah, dan pepohonan. Format gambar penuh keseimbangan komposisi atas-bawah tersebut sangat awet, sebagai sesuatu yang ‘klasik”, yang secara sinambung diturun-tirukan antargenerasi hingga masa kini. Terdapat gambar sepasang gunung-kembar, kadang-kadang diisi tiruan bentuk matahari yang “memancarkan cahayanya” menyembul di sela-sela gunung. Pada bagian langitnya, biasa, diisi gambar tiruan burung yang sedang terbang (Nyoman Tusan memprihatinkannya sebagai contoh pemiskinan bentuk yang diajarkan kepada anak-anak). Objek gambar tersebut memenuhi setengah bagian atas bidang gambar. Pada setengah bagian bidang gambar bawah digambarkan seruas jalan panjang yang lurus atau pun berkelok-kelok menuju satu titik hilang (biasanya pola gambar ini dipakai pula oleh guru ketika mengajarkan materi gambar perspektif di sisi kiri dan kanan jalan biasanya diisi jejeran pohon atau tiang listrik yang menampakkan kesan jarak, dimensi, jauh-dekat. Penyeimbang ruang kiri dan kanan bidang gambar bawah yang telah dibatasi gambar jalan, biasanya diisi tiruan bentuk sawah datar penuh padi yang baru ditanam (bentuknya berupa garis simpel, yang “mudah menggambarkannya”, terdiri atas tiga garis yang bertemu pada satu titik seperti bentuk mata panah yang mengarah ke bawah), atau tegalan luas sejauh mata memandang yang kadang diseling rumah dan pohon kelapa, bisa juga gambar laut atau danau dengan satu atau dua buah sampan dan pemancing ikan di atasnya.
Fenomena ini sangat layak  dan menarik untuk dibicarakan, fenomena gunung kembar ini  akan muncul baik ditingkat SD, SMP, dan SMA. Fenomenan ini munculnyapun kurang diketahui dari asalnya datangnya fenomena ini sehingga fenomenan ini telah menjamur di  jenjang pendidikan khususnya pendidikan seni rupa khususnya menggambar.
Sesuatu yang dapat dikatakan jelas memicu munculnya fenomena ini adalah ketika mereka lepas dari lingkungan keluarga yaitu ketika mereka mulai memasuki dunia atau jenjang pendidikan. Hal ini dikarenanakan saat mereka masih di lingkungan keluarga, mereka memiliki imajinasi yang besar tentang berbagai hal, namun ketika memasuki masa pendidikan imajinasi mereka tiba-tiba hilang lenyap tak terlihat sama sekali, kemanakan imajinasi mereka??. Fenomena Gunung Kembar ini akan  berlanjut sampai mereka menginjak SMA namun dengan tingkat yang berbeda penggambaran yang berbeda. Anehnya lagi gambar ini muncul juga pada mereka yang tidak tinggal di daerah pegunungan contonya saja daerah pantai. Dilingkungan mereka tidak terdapat gunung ataupun pegunang namun kenapa gambar ini bias muncul pada mereaka, siapa yang membawa fenomena ini??.Mungkinkah fenomena ini muncul dari kegiatan meniru.
FENOMENA GUNUNG KEMBAR


Anak merupakan masa dimana imajinasi dibebaskan pada anak. Meraka akan mulai melakukan sesuatu dengan menggunakan tangannya. Pada permulaan kelahiran, indera pendengaran merupakan indera yang berfungsi paling awal. Setelah itu, secara berturut-turut indera penglihatan, peraba, pengecap, dan pembau. Kematangan merupakan salah satu yang menjadi pendorong kemampuan seorang manusia. Ketika tangan sudah berfungsi untuk memegang sesuatu, anak balita mulai memfungsikan alat tubuh tersebut. Biasanya dimulai dengan memasukkan semua benda yang bisa diarihnya ke dalam mulut. Selanjutnya mengetuk-ketukkan semua benda yang bisa dipegang untuk didengar suaranya. Sebagai latihan terakhir adalah latihan koordinasi antara penglihatan dengan gerak otot lengan dan tangannya, melalui kegiatan mencorat-coret (Jajang, 1992: 2).
MELUKIS SEBAGAI MEDIA TERAPI


Terapi seni secara harafiah dapat diartikan sebagai penggabungan dua buah disiplin ilmu, yaitu antara ilmu seni dan psikologi. Psikologi Seni menelaah suatu kegiatan psiko-fisis tertentu dari manusia dan pelaksanaan kegiatan itu pada penciptaan karya seni. Misalnya menelaah segenap proses kegiatan mencipta yang dilakukan oleh seniman untuk menghasilkan sesuatu karya seni yang indah serta bentuk dan ciri-ciri karya yang demikian. Juga ditelaah faktor-faktor sosial psikologis yang menyangkut proses penilaian seni dan dorongan batin dalam seni. Seni dapat memberikan berbagai penafsiran yang nyata terhadap macam-macam gejala kejiwaan dalam diri manusia seperti misalnya gairah, harapannya, khayalannya, atau kekurangan pribadinya. Psikologi seni mengacu pada seni pada seumumnya. Dalam lingkungannya kemudian berkembang psikologi dari jenis-jenis seni tertentu seperti misalnya psikologi kesusasteraan, psikologi musik, dan psikologi seni penglihatan yang meliputi seni lukis dan seni pahat.

Yohanita T.P.L, S.Psi pelaku konseling bagi anak berkebutuhan khusus saat dihubungi mengatakan, psikologi seni selain dapat dirinci menurut jenis-jenis seni dapat pula dibedakan menurut teori-teori psikologis yang digunakan untuk menerangkan sesuatu persoalan yang muncul. “Misalnya dengan menerapkan teori sikap dan psikologi instropeksi, Edward Bullough melakukan penyelidikan terhadap kesadaran estetis. Psikoanalisis dengan berbagai teorinya berusaha memberikan penjelasan bahwa karya seni sebagaimana halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan dari keinginan manusia terdalam yang memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk seni ketimbang dalam penghidupan sehari-hari,” jelasnya.
Dalam perkembangan psikologi seni selanjutnya, penggunaan hasil-hasil ilmiah dari psikologi kanak-kanak dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai mengenai pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni.
Sebuah teori tentang sumber seni ialah teori permainan yang dikemukakan oleh Penyair Johan Schiller (1759-1805) dan kemudian diperkuat oleh filsuf Inggris Herbert Spencer (1820-1903). Menurut Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main yang ada dalam diri seseorang.

Seni merupakan semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan ke luar.
Bagi Spencer permainan itu berperanan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan selanjutnya menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga ini lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan hiburan yang akhirnya menghasilkan karya seni. “Ada lukisan yang menggambarkan kesedihan, keputus-asaan, kesepian, kemarahan, semangat hidup, ambisi hingga bagaimana manusia meraih impian-impian hidupnya. Semua terbingkai dengan sempurna dalam sebuah lukisan. Lebih tepatnya membingkai jiwa-jiwa manusia dalam sebuah lukisan,” ujar Yohanita yang juga sering menghasilkan karya rupa.



Tak heran seringkali psikolog dan psikiater merekomendasikan klien yang mengalami kasus stres, depresi, paranoid, skizofrenia dan gangguan kejiwaan yang lain ke terapi lukis. Melukis sebagai media terapi. Sebenarnya tidak hanya lukis saja yang bisa sebagai media terapi. Ada banyak seni yang bisa mereka pergunakan sebagai media, seperti : seni patung, seni batik, seni musik (piano, biola, gitar), seni menulis, dll. “Didalam terapi melukis mereka akan belajar menarik garis, bentuk, warna, komposisi ruang, dll. Terapi melukis akan mampu menggali tingkat intelegensi, tingkat emosional, tingkat konsentrasi, dan kemampuan berpikir mereka. Sehingga mereka akan diajak menyadari masalah-masalah mereka sambil bereksplorasi dan berkreativitas dalam permainan kuas dan cat. Harapannya, mereka nanti akan menemukan semangat baru, inspirasi baru, impian-impian baru, akan menemukan solusi yang tepat pada masalah dirinya dan mampu memulai lembaran baru yang lebih baik. Dan mereka pun bisa terbebas dari gangguan kejiwaannya,” tutur Yohanita yang sering menangani anak-anak autis.


Sumber
http://pixabay.com/p-369236/?no_redirect
http://dvata.org/wp-content/themes/dvata/images/home/painting.jpg
http://sanggarkubobbo.blogspot.com/2015/01/mendobrak-seni-rupa-anak-anak.html
http://ymilocoffe.blogspot.com/2013/01/melukis-sebagai-media-terapi.html
http://putotheta.blogspot.com/2014/03/fenomena-gunung-kembar.html

Tidak ada komentar: